"Sebuah Nama Sebuah Cerita"

Welcome to My Blog !


" A Story of Experience, Science and
Expression of feelings"

- Go where u wanna go - Do what u wanna do - Be what u wanna be - U just have one life and one chance to do all the things u wanna do -

Home

Senin, 19 Desember 2011

Kisah Rakyat Bali : Jayaprana dan Layonsari (Indonesia n English language))

Dua orang suami istri bertempat tinggal di Desa Kalianget mempunyai tiga orang anak, dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Oleh karena ada wabah yang menimpa masyarakat desa itu, maka empat orang dari keluarga yang miskin ini meninggal dunia bersamaan. Tinggalan seorang laki-laki yang paling bungsu bernama I Jayaprana. Oleh karena orang yang terakhir ini keadaannya yatim piatu, maka ia puan memberanikan dirimengabdi di istana raja. Di istana, laki-laki itu sangat rajin, rajapun amat kasih sayang kepadanya.
Kini I Jayaprana baru berusia duabelas tahun. Ia sangat ganteng paras muka tampan dan senyumnya pun sangat manis menarik.


Beberapa tahun kemudian.
Pada suatu hari raja menitahkan I Jayaprana, supaya memilih seorang dayang-dayang yang ada di dalam istana atau gadis gadis yang ada di luar istana. Mula-mula I Jayaprana menolak titah baginda, dengan alasan bahwa dirinya masih kanak-kanak. Tetapi karena dipaksan oleh raja akhirnya I Jayaprana menurutinya. Ia pun melancong ke pasar yang ada di depan istana hendak melihat-lihat gadis yang lalu lalang pergi ke pasar. Tiba-tiba ia melihat seorang gadis yang sangat cantik jelita. Gadis itu bernama Ni Layonsari, putra Jero Bendesa, berasal dari Banjar Sekar.
Melihat gadis yang elok itu, I Jayaprana sangat terpikat hatinya dan pandangan matanya terus membuntuti lenggang gadis itu ke pasar, sebaliknya Ni Layonsari pun sangat hancur hatinya baru memandang pemuda ganteng yang sedang duduk-duduk di depan istana. Setelah gadis itu menyelinap di balik orang-orang yang ada di dalam pasar, maka I Jayaprana cepat-cepat kembali ke istana hendak melapor kehadapan Sri Baginda Raja. Laporan I Jayaprana diterima oleh baginda dan kemudian raja menulis sepucuk surat.
I Jayaprana dititahkan membawa sepucuk surat ke rumahnya Jero Bendesa. Tiada diceritakan di tengah jalan, maka I Jayaprana tiba di rumahnya Jero Bendesa. Ia menyerahkan surat yang dibawanya itu kepada Jero Bendesa dengan hormatnya. Jero Bendesa menerima terus langsung dibacanya dalam hati. Jero Bendesa sangat setuju apabila putrinya yaitu Ni Layonsari dikawinkan dengan I Jayaprana. Setelah ia menyampaikan isi hatinya “setuju” kepada I Jayaprana, lalu I Jayaprana memohon diri pulang kembali.
Di istana Raja sedang mengadakan sidang di pendopo. Tiba-tiba datanglah I Jayaprana menghadap pesanan Jero Bendesa kehadapan Sri Baginda Raja. Kemudian Raja mengumumkan pada sidang yang isinya antara lain: Bahwa nanti pada hari Selasa Legi wuku Kuningan, raja akan membuat upacara perkawinannya I Jayaprana dengan Ni Layonsari. Dari itu raja memerintahkan kepada segenap perbekel, supaya mulai mendirikan bangunan-bangunan rumah, balai-balai selengkapnya untuk I Jayaprana.
Menjelang hari perkawinannya semua bangunan-bangunan sudah selesai dikerjakan dengan secara gotong royong semuanya serba indah. Kini tiba hari upacara perkawinan I Jayaprana diiringi oleh masyarakat desanya, pergi ke rumahnya Jero Bendesa, hendak memohon Ni Layonsari dengan alat upacara selengkapnya. Sri Baginda Raja sedang duduk di atas singgasana dihadap oleh para pegawai raja dan para perbekel baginda. Kemudian datanglah rombongan I Jayaprana di depan istana. Kedua mempelai itu harus turun dari atas joli, terus langsung menyembah kehadapan Sri Baginda Raja dengan hormatnya melihat wajah Ni Layonsari, raja pun membisu tak dapat bersabda.
Setelah senja kedua mempelai itu lalu memohon diri akan kembal ke rumahnya meninggalkan sidang di paseban. Sepeninggal mereka itu, Sri Baginda lalu bersabda kepada para perbekel semuanya untuk meminta pertimbangan caranya memperdayakan I Jayaprana supaya ia mati. Istrinya yaitu Ni Layonsari supaya masuk ke istana dijadikan permaisuri baginda. Dikatakan apabila Ni Layonsari tidak dapat diperistri maka baginda akan mangkat karena kesedihan.
Mendengar sabda itu salah seorang perbekel lalu tampak ke depan hendak mengetengahkan pertimbangan, yang isinya antara lain: agar Sri Paduka Raja menitahkan I Jayaprana bersama rombongan pergi ke Celuk Terima, untuk menyelidiki perahu yang hancur dan orang-orang Bajo menembak binatang yang ada di kawasan pengulan. Demikian isi pertimbangan salah seorang perbekel yang bernama I Saunggaling, yang telah disepakati oleh Sang Raja. Sekarang tersebutlah I Jayaprana yang sangat brebahagia hidupnya bersama istrinya. Tetapi baru tujuh hari lamanya mereka berbulan madu, datanglah seorang utusan raja ke rumahnya, yang maksudnya memanggil I Jayaprana supaya menghadap ke paseban. I Jayaprana segera pergi ke paseban menghadap Sri P aduka Raja bersama perbekel sekalian. Di paseban mereka dititahkan supaya besok pagi-pagi ke Celuk Terima untuk menyelidiki adanya perahu kandas dan kekacauan-kekacauan lainnya. Setelah senja, sidang pun bubar. I Jayaprana pulang kembali ia disambut oleh istrinya yang sangat dicintainya itu. I Jayaprana menerangkan hasil-hasil rapat di paseban kepada istrinya.
Hari sudah malam Ni Layonsari bermimpi, rumahnya dihanyutkan banjir besar, ia pun bangkit dari tempat tidurnya seraya menerangkan isi impiannya yang sangat mengerikan itu kepada I Jayaprana. Ia meminta agar keberangkatannya besok dibatalkan berdasarkan alamat-alamat impiannya. Tetapi I Jayaprana tidak berani menolak perintah raja. Dikatakan bahwa kematian itu terletak di tangan Tuhan Yang Maha Esa. Pagi-pagi I Jayaprana bersama rombongan berangkat ke Celuk Terima, meninggalkan Ni Layonsari di rumahnya dalam kesedihan. Dalam perjalanan rombongan itu, I Jayaprana sering kali mendapat alamat yang buruk-buruk. Akhirnya mereka tiba di hutan Celuk Terima. I Jayaprana sudah meras dirinya akan dibinasakan kemudian I Saunggaling berkata kepada I Jayaprana sambil menyerahkan sepucuk surat. I Jayaprana menerima surat itu terus langsung dibaca dalam hati isinya:
“ Hai engkau Jayaprana
Manusia tiada berguna
Berjalan berjalanlah engkau
Akulah menyuruh membunuh kau
Dosamu sangat besar
Kau melampaui tingkah raja
Istrimu sungguh milik orang besar
Kuambil kujadikan istri raja
Serahkanlah jiwamu sekarang
Jangan engkau melawan
Layonsari jangan kau kenang
Kuperistri hingga akhir jaman.”
Demikianlah isi surat Sri Baginda Raja kepada I Jayaprana. Setelah I Jayaprana membaca surat itu lalu ia pun menangis tersedu-sedu sambil meratap. “Yah, oleh karena sudah dari titah baginda, hamba tiada menolak. Sungguh semula baginda menanam dan memelihara hambat tetapi kini baginda ingin mencabutnya, yah silakan. Hamba rela dibunuh demi kepentingan baginda, meski pun hamba tiada berdosa. Demikian ratapnya I Jayaprana seraya mencucurkan air mata. Selanjutnya I Jayaprana meminta kepada I Saunggaling supaya segera bersiap-siap menikamnya. Setelah I Saunggaling mempermaklumkan kepada I Jayaprana bahwa ia menuruti apa yang dititahkan oleh raja dengan hati yang berat dan sedih ia menancapkan kerisnya pada lambung kirinya I Jayaprana. Darah menyembur harum semerbak baunya bersamaan dengan alamat yang aneh-aneh di angkasa dan di bumi seperti: gempa bumi, angin topan, hujan bunga, teja membangun dan sebagainya.
Setelah mayat I Jayaprana itu dikubur, maka seluruh perbekel kembali pulang dengan perasaan sangat sedih. Di tengah jalan mereka sering mendapat bahaya maut. Diantara perbekel itu banyak yang mati. Ada yang mati karena diterkam harimau, ada juga dipagut ular. Berita tentang terbunuhnya I Jayaprana itu telah didengar oleh istrinya yaitu Ni Layonsari. Dari itu ia segera menghunus keris dan menikan dirinya. Demikianlah isi singkat cerita dua orang muda mudi itu yang baru saja berbulan madu atas cinta murninya akan tetapi mendapat halangan dari seorang raja dan akhirnya bersama-sama meninggal dunia.
nb.
sampai saat ini kisah cinta Jayaprana dan Layonsari  membekas pada masyarakat Bali pada umumnya. banyak kisah-kisah tari dan drama yang mengisahkan kisah cinta mereka. dan peninggalan dua sejoli ini masih terawat dengan baik, yaitu kuburan yang dipercaya milik Jayaprana dan Layonsari.
Peninggalan Kuburan Jayaprana dan Layonsari ini terletak di kawasan hutan belukar Teluk Terima, Desa Sumber Klampok, Kecamatan Gerokgak, ± 67 km sebelah barat Kota Singaraja.


English Language :

Story of Jayaprana.

Once upon a time there was a small kingdom called Kalianget. At one time the kingdom was plagued by deadly diseases which killed many of its people including most of the king’s family members. This made the King very sad so he decided to visit his people to entertain himself and his people. At a crossroad he met a boy child who was crying for the loss of his parents and brothers. The king decided to adopt the boy since he had already lost all his children in the epidemic that swept through the kingdom. He took the boy to his palace and made arrangements for him to become one of the family. This boy was Jayaprana.

The king loved him as his own child and did everything to keep him happy. Still, as the boy grew to become a handsome adult Jayaprana decided not to interfere with others and approach life in a simple way, even though being the son of a King.

Then, the time had finally come and Jayaprana fell in love with a beautiful flower seller at the market. The girl was Layonsari. She also fell in love with Jayaprana and his father, the King, agreed with their good intentions and accepted the notion of marriage.
The kingdom was delighted with the marriage of Jayaprana and Layonsari but shortly after dark clouds of trouble began to hover above the kingdom. The king had fallen in love with Layonsari which was now the wife of his only son, Jayaprana.

The king, hypnotized by his feelings for Layonsari, began to plan on ways to get rid of Jayaprana. He ordered Jayaprana to travel to the forest near the sea accompanied by his guards to kill people who were disrupting the peace in his Kingdom. The king’s dark plan was to keep Jayaprana away while trying to persuade Layonsari to become his wife instead.

Jayaprana travelled through the forest as instructed even though his wife Layonsari had told him she had seen bad omens and had nightmares about this journey. The head guard of the kingdom, Patih Sawung Galing, accompanied him and after walking for days they finally reached the forest.

There were many confrontations and they succeeded in killing all the troublemakers. Then, at the last battle Patih Sawung Galing tried to kill Jayaprana. He tried several times in various ways but nothing could kill him.

Exhausted of ideas Patih Sawung Galing stopped. They sat down and had a conversation and Jayaprana asked Patih Sawung Galing why he wanted to kill him. He was told it was the king’s orders. He told Jayaprana the king had fallen in love with Layonsari and wanted her to become his wife.

Jayaprana was chocked and became very sad that the King, his father, who had been very kind to him all his life, would do such a thing. Jayaprana would give anything to his father, the King… anything but his wife.


Jayaprana had promised to obey all order from the king and would honour his word. Jayaprana could easily have killed Patih Sawung Galing and then the King… “but for what?” - He thought.

Jayaprana was devastated and felt he had nothing in his life except his dear loving wife, but, to fulfil his promise to his father, the King, he decided to let Patih Sawung Galing kill him. Jayaprana had flowers in his hair and he picked them one by one and placed them in the hands of Patih Sawung Galing. He also gave him his Keris so that he could use it to kill him. He asked Patih Sawung Galing to tell his wife, Layonsari, that he died in order to fulfil his promise to the King. The tears of Patih Sawung Galing fell as he took the flowers and Keris. He could easily kill Jayaprana with one hit and did just that.

All of a sudden a fragrant scent from Jayapranas dead body began to spread. It continued to spread and cover the whole forest making all animals scream with sadness. All but one; a white tiger. The white tiger rushed to Jayapranas dead body to find Patih Sawung Galing holding his bloody Keris and killed him in one fierce blow.

The news spread throughout the Kingdom and Layonsari chose to commit suicide after knowing that the king’s misdeeds had resulted in the death of her husband, Jayaprana. Not long after her committing suicide a fragrant scent began to spread throughout the palace.
The fragrant scent was a sign that they were pure in mind without any sins.

As both Jayaprana and Layonsari were dead the king managed to break out from his illusionary state and realized what he had done. The King withdrew himself from reining the Kingdom.

The people of the Kingdom decided to bring the body of Layonsari to the forest where Jayaprana was killed to unite them in death and two graves were built. One grave for Jayaprana and Layonsari and another grave for Patih Sawung Galing who was the man destined to guard the graves forever.

After a complete ceremony Jayaprana and Layonsari were stated as holy people.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar